Author: Intania Nur Azizah

  • Semua Masa Ada Orangnya, Semua Orang Ada Masanya

    “Kayaknya aku nggak bisa deh”, “Kapan ya aku jadi kaya dia?”
    Kurang lebih, dua pernyataan di atas pernah terbesit di dalam benakku. Sosial media membawaku berselancar jauh untuk melihat banyak pencapaian hebat dari orang-orang di sekitarku. Kemenangan, senyum yang sumringah, dan pencapaian yang hebat semua terkemas apik di dalam sosial media yang kulihat. Sampai pada satu titik, emosi rendah diri tidak bisa terbendung kembali.
    Rasanya, melihat pencapaian atau pengalaman baru orang lain lebih menyenangkan dibandingkan mulai memberanikan diri untuk bisa berada di fase orang-orang hebat tersebut. Asyik membandingkan diri, tidak mau memulai, atau bahkan melihat pencapaian orang lain dengan perspektif kecemburuan. Sungguh, aku pernah di fase yang seperti itu.
    Sampai satu kutipan yang tidak sengaja muncul di beranda sosial mediaku berkata, “Semua orang ada masanya dan Semua masa ada orangnya”. Aku tersadar, mungkin pencapaian hebat yang dibagikan oleh teman-temanku di laman sosial media mereka adalah masa mereka. Masa yang pernah mereka impikan, ekspektasikan, hingga mampu terealisasikan. Sudah sepatutnya, komparasi diri terhadap pencapaian tidak perlu untuk diulangi kembali.
    Sejak saat itu, aku mulai berbenah. Kembali pada urusan pribadi dan tidak ingin lagi terkungkung dalam situasi komparasi. Ternyata, potensi diri menjadi hal pertama yang ingin aku refleksikan. Tidak mau berpikir terlalu jauh untuk mendapatkan penghargaan atau semacamnya. Saat itu, aku hanya berpikir sederhana mengenai “Apa yang aku sukai” dan “Apa yang bisa aku kembangkan”.
    Hal tersebut sangat membantuku mengenal diri jauh lebih dalam. Aku tahu arah mana yang hendak kuambil, tahu harus dengan siapa seharusnya aku melakukan hal tersebut, hingga aku akhirnya tahu bahwa semua proses yang akan dan sedang kulakukan ternyata semenyenangkan itu.
    Betul, proses itu sangat menyenangkan. Aku sampai ketagihan untuk terus berproses. Tidak lagi mengkhawatirkan diri karena terlalu sibuk mengkomparasi.
    Teman, sudah saatnya kita keluar dari lingkaran tidak sehat. Lingkaran jahat yang terus mengungkung kita dalam diri yang tidak mau berani. Jika aku bisa dan mau berubah, aku pun yakin kalian akan seperti itu. Sudahi komparasi dirimu dengan orang lain. Mulailah berefleksi, siap-siap untuk berdikari ya.
    Salam hangat,
    Intan

  • Bertumbuh: Dulu Rapuh, Kini Kukuh

    Bertumbuh: Dulu Rapuh, Kini Kukuh

    Manusia adalah makhluk yang dikaruniai oleh Tuhan akal dan pengetahuan. Murni dari itu semua, manusia memiliki kuasa untuk pergi kemana dan berhenti di mana. Sama seperti itu, aku adalah manusia. Mahkluk Tuhan yang memiliki akan dan diberikan kemampuan untuk berilmu pengetahuan. Aku adalah manusia, makhluk Tuhan yang dapat berkuasa atas kendali diri yang akan hendak kemana dan akan berhenti di mana.

    Aku memiliki kendali untuk semua itu, tetapi Keputusan yang mutlak tetap berada di tangan Tuhan. Menurutku, rapuh yang aku dirasakan adalah salah satu bentuk Keputusan yang Tuhan berikan. Mungkin, rapuh yang setiap manusia memiliki terdapat cerita tersendiri di dalamnya. Pun aku begitu..

    Dulu, bagiku belajar adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Belajar juga menjadi kendaraan untukku mencapai semua mimpi yang aku rencanakan. Mimpi sederhana tapi sangat mendalam dan membekas hingga saat ini. Biar kuberitahu, mimpi itu adalah sinar yang aku perjuangkan cahayanya, meskipun sedang gelap gulita melanda.

    Masuk universitas ternama, terfavorit, dan terakreditasi baik adalah Impian dan dambaan bagi banyak orang. Tentunya, aku adalah salah satu orang tersebut. Sebut saja kampus kuning. Dia yang menjadi alasan utamaku terus belajar dan berjuang. Mimpiku sederhana, bersekolah di sana, bertemu dengan orang-orang hebat dan cerdas, dan tentunya membawa nama baik kota kelahiranku. Duh, ternyata sederhananya mimpiku juga banyak yang menginginkan.

    Tahun penentuan untuk masuk perguruan tinggi menjadi saksi nyata bahwa sebuah kerapuhan harus aku dapatkan. Penolakan bertubi-tubi dan kemalangan lainnya yang membuat rendah diri membuatku sangat merasakan kerapuhan itu sendiri. Terbesit dalam pikiranku, “Apa setidak layak itu kah aku untuk berada di PTN?” dan banyak asumsi negative lainnya yang semakin membuat nelangsa itu tidak kunjung mereda.
    Jujur, tidak ada penekanan atas pilihan dan kegagalan tersebut. Semua murni atas pilihan dan konsekuensi yang aku dapatkan. Penundaan untuk mendapatkan tempat belajar menjadi proses yang sangat membuatku bertumbuh. Menunda setahun adalah fase krusial yang sangat aku ingat hingga kapan pun. Penerimaan, pemaafan, dan proses lainnya yang aku pelajari dalam waktu menunda tersebut adalah bentuk pendewasaan yang sedang aku lakukan.

    Aku rapuh, tapi aku harus bertumbuh. Menunda untuk mengejar mimpi yang sama adalah satu hal yang aku perjuangkan saat itu. Namun, lagi-lagi aku rapuh. Mimpiku tertolak untuk kesekian kalinya.
    Rapuhku itu menjadi awal bertumbuh yang baru hingga detik ini. Memulai hari yang baru, meskipun di tempat lain yang belum pernah aku impikan sebelumnya. Namun, tempat ini yang sekarang aku sadari menjadi mediaku untuk mengenal dunia pertumbuhan yang sangat menyenangkan.

    Terkadang, jika sedang mengevaluasi diri, aku sering tersadar, bahwa tempat yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, justru menjadi tempat yang sangat memberikan dampak terbaik untuk diri ini dalam proses bertumbuh.

    Satu-persatu rapuhku memudar dan digantikan oleh perasaan haru dalam melewati momen bertumbuh setiap waktunya. Bertumbuh di tempat ini membawaku melihat banyak dunia luas yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Melalui tempat ini pula, aku selalu punya semangat untuk bertumbuh setiap detiknya.
    Sekarang, aku kukuh. Penerimaan dan pendewasaan melalui momentum rapuh membuatku kukuh seperti sekarang. Aku selalu percaya, mimpi tidak pernah gagal. Hanya saja, mimpi pun tahu tempat mana yang cocok dan layak untuk diri ini bisa bertumbuh dengan kapasitas yang dimiliki.

    Di manapun tempat yang disinggahi, tidak mungkin aka nada momen bertumbuh jika diri sendiri tidak mampu melihat kapasitas dalam diri. Aku percaya, bertumbuhku ini adalah momen yang membuatku paham akan keberanian dan kapabilitas diri yang sebelumnya belum pernah aku jamah sekali pun.

    Aku ingin berterima kasih untuk diriku sendiri, terima kasih sudah mau memaafkan, mengikhlaskan, dan memberikan ruang bertumbuh untuk diriku meskipun kita tidak berada di tempat yang pernah kita impikan sebelumnya. Terus bertumbuh, yaa. Hari ini, esok, dan seterusnya.