Tag: Ekologi

  • Menyoal Urgensi Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia

    Menyoal Urgensi Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia

    Sudah sejak tahun 2021 aku concern terhadap isu-isu lingkungan hidup dalam skala regional, nasional, dan global. Isu lingkungan yang aku khawatirkan kemudian aku relevansikan dengan latar belakang pendidikan aku saat ini, yaitu hukum. Sejalan dengan hal tersebut, ternyata pada Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan, bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Salah satu hak yang aku soroti adalah berkenaan dengan pendidikan lingkungan hidup. Seperti kita ketahui, bahwa pendidikan merupakan hak fundamental yang perlu dipenuhi bagi setiap orangnya agar mendapatkan pengetahuan dan pemahaman terkait dengan suatu ilmu tertentu dan hak pendidikan juga adalah bagian daripada usaha negara untuk memenuhi cita-citanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai yang tertera pada konstitusi kita. Oleh karena itu, dalam konteks lingkungan hidup, pendidikan juga sangat penting untuk mencerdaskan anak bangsa agar berwawasan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

    Relevansi Pendidikan dan Lingkungan Hidup
    Pendidikan dan lingkungan hidup adalah dua hal yang harus terus beriringan demi terciptanya lingkungan hidup yang baik dan sehat. Aku sebagai individu yang memiliki fokus terhadap lingkungan hidup selalu membawakannya pada ranah pendidikan. Hal tersebut aku desain agar isu mengenai lingkungan hidup dapat diedukasikan kepada orang yang awam. Dari hal tersebut bisa ditarik, bahwa pendidikan berguna untuk mengantarkan esensi agar orang-orang dapat memahami mengenai isu-isu lingkungan hidup. Tentu saja hal ini penting di tengah cabut marutnya isu lingkungan hidup di Indonesia. Aku juga meyakini bahwa memang pendidikan dan lingkungan hidup ini penting untuk digabungkan, terbukti dengan dihadirkannya hak pendidikan lingkungan hidup oleh pemerintah sebagai bagian dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, yang menjadi pertanyaan besar apakah pemerintah sendiri bisa menggabungkan antara pendidikan dan lingkungan hidup sendiri yang notabene adalah hak bagi tiap warga negaranya?

    Cerita Singkat Susahnya Mewujudkan Hak Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia
    Beberapa tahun ke belakang komunitas lingkungan hidup yang aku ikuti, secara kolektif membuat suatu petisi bersama gerakan, komunitas, dan organisasi lingkungan hidup lainnya agar Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi mengintegrasikan pendidikan iklim ke dalam kurikukulum pendidikan sekolah di Indonesia. Pendidikan iklim adalah bagian dari pendidikan lingkungan hidup juga, tetapi dalam konteks lebih spesialis. Perjuangan kami dalam mendorong agar pemerintah mengintegrasikan kurikulum tersebut berakhir dengan ketidakpastian. Entahlah, pemerintah memang sukanya membuat ketidakpastian terlebih kepada kaum muda yang mungkin dianggap hanya omong kosong belaka, memang suka bikin kesal. Namun, satu hal yang menjadi pembelajaran bahwa dengan perjuangan kami yang penuh ketidakpastian tersebut, kami menyadari ternyata untuk mewujudkan hak pendidikan lingkungan hidup di Indonesia sesusah it, padahal pemerintah sendiri yang membuat aturan, tapi pemerintah juga yang melanggar, aduh.

    Lalu Urgensinya Apasih Pendidikan Lingkungan Hidup Itu?
    Urgensi sekali. Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa pendidikan adalah hak fundamental bagi warga negara, berarti sama halnya pendidikan lingkungan hidup juga hak fundamental agi warga negara untuk bisa memahami isu lingkungan hidup. Aku tidak akan membahas panjang lebar, toh UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2009 juga sudah jelas mengabarkan terkait hak pendidikan lingkungan hidup, tinggal bagaimana pemerintah merealisasikannya saja, karena sudah jelas apa yang kami perjuangan juga untuk pendidikan lingkungan hidup dinilai sebelah mata dan sia-sia. Apa jangan-jangan ini ulah pemerintah dalam mengurangi hak asasi manusia warga negaranya untuk tidak memahami isu lingkungan hidup, sehingga pemerintah bisa seenaknya terus mengeksploitasi alam secara masif? Upsss! Terakhir dari aku bahwa hak pendidikan lingkungan hidup adalah hak yang harus selalu kita perjuangan meskipun pemerintah sebagai pemegang kepentingan tidak memperhatikannya, kita sebagai warga negara harus bisa juga memenuhi hak untuk warga negara lainnya.

    Penulis: Rio Ananda Andriana
    Instagram: @rio.anandaa
    LinkedIn: Rio Ananda Andriana

  • Krisis Iklim Telah Tiba, Lantas Kita Harus Apa?

    Krisis Iklim Telah Tiba, Lantas Kita Harus Apa?

    Akhir-akhir ini sering kali aku mendengar ungkapan, “Aduh panas sekali”. Tanpa mereka sadari itu adalah dampak dari aktivitas manusia yang merusak lapisan pelindung Bumi, sehingga panas matahari lebih terasa saat memasuki permukaan Bumi yang manusia tinggali. Hal tersebut nantinya akan bermura pada terminologi perubahan iklim. Perubahan iklim sendiri mengacu pada perubahan pola suhu dan cuaca dalam jangka waktu yang panjang. Perubahan iklim adalah bencana bagi kita, sebab perubahan iklim bisa menghancurkan multi-sektor secara perlahan di dalam kehidupan manusia. Perubahan iklim sendiri terjadi, karena berbagai aktivitas manusia dari mulai bangun hingga tidur kembali. Aktivitas manusia yang merusak tersebut datang dari berbagai gas emisi yang mereka hasilkan. Dimulai dari sektor pertambangan, industri, pembukaan lahan di hutan, sampai sampah makanan pun adalah alasan Bumi ini semakin panas. Terlebih aktivitas tersebut dilakukan secara repetitif dengan sifat yang destruktif dan eksploitatinya, terlebih bagi sektor pertambangan dan pembukaan lahan di hutan. Sungguh miris, aktivitas tersebut membuat Bumi semakin meringis dan bisa membuat manusia menangis.

    Tetapi, Perubahan Iklim Itu Apakah Memang Ada?
    Aku cukup muak dengan orang-orang yang sudah tahu realitasnya, tetapi masih denial akan hal tersebut, contohnya orang yang masih tidak mempercayai adanya perubahan iklim. Bayangkan saja betapa bebalnya mereka menolak sebuah kenyataan yang sudah terasa dampak buruknya di berbagai sektor. Di sektor pertanian, banyak sekali Petani yang mendapatkan pemasukan sedikit untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, sebab kegagalan panen selalu menimpa mereka, imbas dari bencana banjir ataupun kekeringan yang terjadi. Contoh teranyarnya, terjadi di Jambi, menurut UPTD Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Jambi menyebutkan, bahwa jika biasanya produksi padi bisa mencapai 4,5 ton per hektare, alhasil sekarang akibat dari perubahan iklim ada 129 ton lebih padi yang harusnya dihasilkan tak dapat terpenuhi akibat adanya bencana banjir. Dengan demikian data tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan iklim berimbas sangat signifikan di masyarakat. Selain itu, di sektor perairan atau di wilayah pesisir nelayan juga mengeluhkan hasil tangkapan ikan mereka yang sedikit, tak seperti biasanya. Menurut kajian dari Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) di tahun 2021, sektor pesisir dan laut diperkirakan akan mengalami kerugian ekonomi rata-rata sebesar Rp.81,53 triliun setiap tahun selama periode 2020-2024 akibat dari dampak buruk perubahan iklim. Dengan realitas menyedihkan seperti itu, apakah kalian yang masih tak percaya dengan perubahan iklim dan tetap kekeh kalau semua ini adalah hanya fiktif belaka?

    Sekarang Bukan Lagi Perubahan Iklim, Tetapi Krisis Iklim
    Sekali lagi, aku sudah cukup muak dengan omong kosong belaka bahwa kalian tidak percaya perubahan iklim, akan tetapi sekarang kalian harus percaya dengan krisis iklim. Ya, krisis iklim, krisis yang timbul dari perubahan iklim yang semakin memburuk. Kondisi sekarang mengharuskan kita semua secara kolektif untuk membendung krisis iklim ini agar tidak terus meningkat dalam konteks kenaikan suhunya. Di sini memang benar diperlukan usaha kolektif, akan tetapi kebijakan yang pro terhadap pembatasan laju krisis iklim adalah usaha paling efektif juga yang seharusnya bisa pemerintah manfaatkan. Dalam konteks ini, seperti yang sudah diketahui, Indonesia bersama negara-negara di dunia berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu di angka 1,5 derajat celcius dan di bawah 2 derajat celcius melalui Paris Agreement di tahun 2015. Namun, nyatanya komitmen tersebut justru tidak terpenuhi, karena suhu Bumi telah mencatat lebih dari 1,5 derajat celcius. Tentu saja, hal ini ada berbagai campur tangan kotor dari sisi kebijakan pemerintah juga, terutama terkait dalam hal-hal yang bisa menimbulkan gas emisi. Sejalan dengan hal tersebut bahwa suhu Bumi sudah melebihi 1,5 derajat celcius adalah suatu ketakutan bagi diriku. Ya, masa-masa krisis iklim sedang kita rasakan saat ini. Kita benar-benar sudah merasakan manifestasi dari dampak-dampak gas emisi yang telah dihasilkan. Jadi, di tengah krisis iklim ini kita harus bagaimana?

    Sadar Dulu Saja, Lalu Lakukan Aksi Nyata!
    Segala sesuatu akan dijalankan dengan sepenuhnya, jika kita sudah menyadari bahwa hal tersebut adalah penting bagi kita, bahkan untuk orang lain. Aku bisa memiliki kekhawatiran pada isu lingkungan hidup, terkhususnya krisis iklim, karena berawal dari kesadaran bahwa krisis iklim bisa menghancurkan masa depanku. Alhasil, setelah aku sadar, barulah aku mulai melakukan iniastif untuk melakukan aksi nyata dalam membatasi dampak yang lebih buruk dari krisis iklim. Sekecil dan sesederhana yang bisa dilakukan terlebih dahulu saja, sebab itu bisa saja memberikan dampak yang besar di kemudian hari. Sudah aku bilang bahwa sekarang adalah kondisi yang mengharuskan kita beraksi secara kolektif. Tindakan yang dilakukan paling efektif adalah dengan mengubah sistem atau kebijakan yang tadinya tidak memiliki keberpihakan menjadi berpihak terhadap iklim. Tentu saja, prosesnya lama, tapi hasilnya sangat terasa. Selain itu, alternatif lain juga tindakan secara individual juga adalah tindakan yang bermakna. Memang kecil, tapi dengan konsistensi juga bisa membuahkan dampak yang besar. Bayangkan saja, jika kamu setiap hari rutin bergaya hidup ramah lingkungan dan di satu waktu ada kawanmu yang mengikuti gaya hidupmu, itu juga suatu pencapaian bagi kamu untuk melakukan aksi nyata untuk membatasi laju dari krisis iklim. Oleh karena itu, sadari dulu saja, kemudian lakukan aksi nyata!

    Pada akhirnya, perubahan iklim sudah beranjak menjadi krisis iklim dan di kondisi sekarang ini kita harus benar-benar percaya akan hal itu. Berbagai fakta dan data sudah banyak disajikan, tidak ada hal lain lagi yang patut dipertanyakan. Aku hanya ingin kalian menyadari bahwa krisis iklim ini benar-benar tengah kita lawan. Setelah menyadarinya, tentu saja mulailah untuk melakukan aksi nyata demi membatasi laju krisis iklim. Aku percaya kita semua bisa mulai secara kolektif bertindak untuk mengubah sistem yang tak berpihak pada iklim. Yuk mulai sekarang kita sadari dan lakukan aksi nyata itu!

    Referensi:
    Internet
    https://lcdi-indonesia.id/2022/08/29/loss-and-damage-akibat-dampak-perubahan-iklim-di-sektor-pesisir/

    https://www.google.com/amp/s/www.detik.com/sumbagsel/berita/d-7224949/129-ton-padi-di-jambi-gagal-panen-akibat-banjir-dan-perubahan-iklim/amp

    https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement

    Penulis: Rio Ananda Andriana
    Instagram: @rio.anandaa
    LinkedIn: Rio Ananda Andriana

  • Ekofeminisme: Perjuangan dalam Melepas Belenggu Patriarki dan Eksploitasi Alam

    Ekofeminisme: Perjuangan dalam Melepas Belenggu Patriarki dan Eksploitasi Alam

    Krisis ekologi dan iklim yang sedari dulu terjadi, tidak terlepas dari kerakusan manusia yang hidup di Bumi. Kerakusan tersebut berakar dari kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri, alam, dan keterkaitan antara keduanya. Segala aktivitas manusia memang pasti akan selalu mengorbankan alam, akan tetapi aktivitas tersebut pada dasarnya bisa direduksi dengan cara pandang yang benar dan tidak harus berpusat pada pengorbanan alam. Oleh karena itu, hal fundamental agar alam ini membaik adalah mengubah cara pandang manusia adalah melakukan aktivitas yang terutama bermuara kepada eksploitasi alam. Dalam hal ini, maka ekofeminisme menawarkan suatu konsep yang dapat mendobrak dan memutus rantai pelanggengan eksploitasi alam, terutama juga yang berpandangan pada penindasan atas kehidupan perempuan.

    Cara Pandang Lahirnya Ekofeminisme
    Bahasan ekofeminisme menjadi bahasan yang kompleks untuk ditelaah. Ekofeminisme sendiri merupakan salah satu cabang dari feminisme. Feminisme merupakan sebuah aliran filsafat yang berorientasi pada mempersoalkan, mempertanyakan, dan menggugat cara pandang yang berpusat pada maskulin dan patriarki. Dalam kata lain, feminisme mendobrak batasan-batasan yang menyebabkan segala penindasan terjadi terhadap para perempuan yang dilakukan oleh laki-laki yang mempunyai tendensi anggapan relasi kuasa dan dominasi yang tinggi. Dalam konteks bahasan ini, maka adanya krisis ekologi erat kaitannya dengan perempuan yang juga secara bersamaan tertindas oleh kaum-kaum patriarki. Ekofeminisme sendiri pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Francoise d’Eaubonne dalam bukunya yang berjudul Le Feminisme Ou La Mort. Buku tersebut berisi mengenai gerakan perempuan dalam penyelamatan Bumi. Pada tahun 1975, Rosemary Radford Ruether, yaitu seorang cendekiawan feminis Amerika, mengungkapkan lewat tulisannya, bahwa tidak akan ada solusi terhadap krisis ekologi di masyarakat yang kaitan fundamentalnya adalah dominasi. Oleh karena itu, untuk menghancurkan dominasi tersebut, perempuan harus secara kolektif menyatukan kekuatan untuk menentang dan melawan segala bentuk diskriminasi dan penindasan dengan gerakan ekologi untuk mencapai pembebasan dan dengan tujuan menyelamatkan Bumi dari krisis ekologi. Dalam hal ini, para perempuan dan cendekiawan pada bidang ekologi kemudian melihat keterkaitan antara kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan sama dengan eksploitasi terhadap Bumi dan segala sumber daya alamnya oleh kaum patriarki dengan ekonomi kapitalisme yang menghancurkan. Dalam hal ini juga, menurut pemikiran patriarki, bahwa perempuan dan Bumi adalah objek yang bisa dieksploitasi. Sehingga dari narasi tersebut lahirlah gerakan ekofeminisme, dengan demikian hal ini seirama dengan apa yang dijadikan bahasan pada buku karya Francoise d’Eaubonne.

    Menyoal Keterkaitan Perempuan dan Alam
    Perempuan selalu disandingkan dan diasosiasikan dengan alam. Hal ini bisa dilihat dari ragam terminologi yang kita kenal di Indonesia seperti dalam penyebutan tanah air (Bumi) dan peristilahan ibu pertiwi yang mempunyai sifat feminitas. Hal tersebut tidak mengherankan bahwa masyarakat Indonesia dibentuk oleh kerangka patriarki, yang memberikan legitimasi pada dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga muncul istilah-istilah perempuan yang disandingkan dengan alam. Dalam konteks ini, Karen J. Warren mengungkapkan kerangka kerja androsentrisme. Androsentrisme sendiri berarti suatu cara pandang dan perilaku yang mengutamakan dominasi dan eksploitasi terhadap alam yang berpusat pada laki-laki. Adapun isi kerangka kerjanya, yaitu berpikir tentang nilai-hierarkis (semisal adanya ‘atas-bawah’), terus adanya dualisme nilai yang berarti bahwa adanya hal dalam melakukan penilaian moral secara dualistis (seperti laki-laki ditandingkan dengan perempuan dan manusia ditandingkan dengan alam), serta terakhir adanya penekanan pada logika-dominasi, contohnya argumentasi yang membenarkan subordinasi. Namun, pada faktanya perempuan memang akan selalu ‘di-alam-kan’ dan ‘di-feminim-kan’, seperti halnya ada istilah, dikuasai, digarap, dan dieksploitasi. Istilah-istilah tersebut digunakan dalam keterkaitannya dengan alam, seperti hutan yang dieksploitasi, tanah yang digarap, dan Bumi yang dikuasai. Sehingga kita tidak bisa menyangkal, bahwa perempuan dan alam memiliki keterkaitan, yaitu sama-sama ditindas oleh kaum patriarki atau mereka yang selalu menggunakan atribut maskulin. Selain itu, mengingat bahwa alam bersifat pasif, non-subjek, dan hanya sekedar memberi selalu dikaitkan dengan insting maternal dalam konsep ibu Bumi, yang juga sering disandingkan dengan Bumi yang melahirkan berbagai peradaban begitu pula perempuan yang melahirkan manusia untuk mengubahan suatu peradaban. Dan hal tersebut jelas pemaknaannya berkaitan dengan perempuan dan alam. Selain itu, jika dilihat dalam kacamata lain, misal jika terjadi kekeringan akibat bencana alam, maka perempuan adalah korban pertama, karena akan susah mendapatkan kebutuhan air bersih untuk menstruasi dan kebutuhan rumah tangga dan penggunaan kesehariannya. Pada akhirnya, ekofeminisme akan selalu menyoal tentang kedekatan perempuan dan alam, karena mengingat ekofeminisme adalah perlawanan atas eksploitasi alam dan pelanggengan sistem patriarki.

    Perjuangan Gerakan Ekofeminisme Sebagai Bentuk Perlawanan
    Bicara ekofeminisme berarti bicara perlawanan atas ketertindasan perempuan dan alam. Seperti dijelaskan di awal, bahwa ekofeminisme lahir untuk menentang segala bentuk diskriminasi yang bermuara pada penyelamatan Bumi. Dalam hal ini, saya akan mencoba memberi contoh realistis bentuk-bentuk dari perjuangan ekofeminisme di masa lalu dan masa sekarang melalui lensa global dan nasional. Dalam lensa global kita bisa melihat perjuangan ekofeminisme dari perempuan-perempuan di India. Dari dahulu bangsa di India sangat menggantungkan hidupnya pada hutan. Bagi perempuan, mereka dapat menemukan ragam sumber daya alam yang ada di hutan untuk kebutuhan sehari-hari, pakan ternak, bahkan bahan bakar. Alhasil, hutan adalah segala-galanya bagi mereka. Pada tahun 1974, Gaura Devi, seorang perempuan yang berasal dari desa Lata memimpin puluhan perempuan lainnya di desa Reni, bagian India Utara untuk menghentikan penebangan pohon yang dilakukan para kontraktor perusahaan-perusahaan ekstraktivisme dengan cara memeluk pohon-pohon tersebut. Mereka bertahan selama berhari-hari untuk memeluk dan menjaga pohon-pohon tersebut, sampai pada akhirnya para kontraktor menyerah dan meninggalkan kawasan tersebut. Gerakan ini berhasil menyelamatkan sebanyak 12.000 km hutan. Dan pasca gerakan tersebut berlangsung, pemerintah negara India membentuk sebuah komite untuk menginvestigasi deforestasi di wilayah tersebut dan membuat larangan terkait dengan penebangan komersial di daerah tersebut. Apa yang dilakukan oleh para perempuan di desa Reni, India tersebut dinamakan dengan gerakan chipko yang dalam bahasa Hindi berarti ‘memeluk’. Gerakan ini selain berhasil melakukan pengusiran para kontraktor, tetapi juga berhasil untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah agar pro lingkungan. Gerakan chipko ini merupakan salah satu bentuk perjuangan ekofeminisme yang dilakukan oleh perempuan dalam menyelamatkan Bumi. Di Indonesia sendiri perjuangan ekofeminisme banyak ditemui, salah satunya bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para perempuan di Kendeng, Jawa Timur terhadap pembangunan yang menindas dan merugikan. AWal mula konflik terjadi pada saat adanya rencana pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di desa Sukolilo, Pati Utara, Jawa Tengah. Namun, warga Sukolilo menolak adanya pembangunan pabrik semen tersebut, karena akan merusak lingkungan sekitar. Oleh karena itu, masyarakat Desa Sukolilo mengadakan aksi demonstrasi dan menggugat PT Semen Indonesia tentang menolak pembangunan pabrik semen tersebut. Sampai pada akhirnya di tahun 2009, warga Desa Sukolilo memenangkan gugatan di Mahkamah Agung yang membuat PT Semen Indonesia gagal untuk melakukan pembangunannya. Lalu, pada tahun 2009 PT Semen Indonesia mengalihkan rencana pembangunannya ke daerah Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di Kecamatan Gunem, Pegunungan Kendeng, Rembang. Namun, Warga Kendeng juga menolak adanya pembangunan tersebut, karena dinilai dapat mengganggu cekungan air tanah (CAT) yang menjadi sandaran warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, terutama perempuan yang juga mencari bahan-bahan pokok dari alam. Selain itu, Selain itu, kaki Pegunungan Kendeng merupakan tempat tinggal bagi orang Samin yang menggantungkan seluruh kehidupannya pada alam, tentu saja jika pembangunan dilakukan akan merusak ekosistem alam di daerah tersebut. Pada tahun 2016 sebanyak 9 petani perempuan Kendeng menyemen kakinya di depan Istana Negara, hal ini dilakukan sebagai bentuk protes atas rencana pembangunan pabrik semen yang dapat merusak pegunungan/karst kendeng tersebut. Bentuk protes yang dilakukan oleh para perempuan Kendeng ini juga merupakan perjuangan ekofeminisme untuk menyelamatkan alam dan manusia. Dari kedua contoh gerakan ekofeminisme tersebut dapat kita lihat, bahwa pada dasarnya gerakan ekofeminisme adalah perjuangan nir-kekerasan yang percaya, bahwa aksi damai yang dilakukan karena alasan etis dan kepercayaan atas kekuatan kolektif, serta bertujuan untuk menjadikan lawan menjadi kawan demi kepentingan kolektif untuk terhindarnya krisis ekologi.

    Kesimpulan
    Pada akhirnya ekofeminisme merupakan suatu cara pandang kita dalam memperjuangkan dan melawan segala bentuk eksploitasi terhadap alam dan diskriminasi perempuan dengan melanggengkannya sistem patriarki. Ekofeminisme cukup sesederhana yang biasa ibu kita lakukan ketika pagi hari, yaitu menyiram tanaman atau pohon di depan rumah atau juga mencoba bercocok tanam dengan merawat tumbuhan secara berkelanjutan. Di akhir bacaan ini, saya mengambil salah satu kutipan bagus dari Mama Aleta Baun yang juga seorang aktivis perempuan dari Nusa Tenggara Timur yang menentang penambangan marmer di NTT dengan menenun. Mama Aleta berkata, bahwa “Saya anak seorang Amaf (Raja), tetapi saya perempuan. Menurut adat, saya tidak punya hak untuk bersuara dan tidak berhak menjadi Pemimpin. Tetapi saya memimpin perjuangan menolak tambang. Kami, laki-laki dan perempuan harus berjuang untuk menyelamatkan tubuh kami.”

    Referensi:
    Buku
    A. Sonny Keraf. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Kompas

    Jurnal
    Susilo & Kodir, “Politik Tubuh Perempuan: Bumi, Kuasa, dan Perlawanan”, Jurnal Politik, Vol. 1, No. 2, Februari, 2016, hlm. 2-6.

    Purbandani & Mahaswa, “Ekofeminisme Kritis: Menelaah Ulang Gender, Keadilan Ekologi, dan Krisis Iklim”, Jurnal Perempuan, Vol. 3, No. 27, Desember, 2022, hlm. 227-229

    Asmarani, “Ekofeminisme dalam Antroposen: Relevankan? Kritik Terhadap Gagasan Ekofeminisme”, Jurnal Muldisipliner Mahasiswa Indonesia, Vol. 1, No. 1, 2018, hlm. 131-134

    Internet
    Magdalene, “Ekofeminisme Perempuan dan Pelestarian Lingkungan”, Magdalene (2020), diakses pada 7 Februari 2024, https://magdalene.co/story/ekofeminisme-perempuan-dalam-pelestarian-lingkungan-hidup/

    WALHI Sulawesi Selatan, “Ekofeminisme dan Perlawanan Nirkekerasan Srikandi Kendeng Terhadap Pembangunan yang Menindas”, WALHI Sulawesi Utara (2020), diakses pada 8 Februari 2024, https://walhisulsel.or.id/2978-ekofeminisme-dan-perlawanan-nirkekerasan-srikandi-kendeng-terhadap-pembangunan-yang-menindas/

    Ica Wulansari, “Kendeng dan Gerakan Ekofeminisme”, Mongabay Indonesia (2017), diakses pada 8 Februari 2024, https://www.mongabay.co.id/2017/03/06/kendeng-dan-gerakan-ekofeminisme/amp/

    Risa Herdahita Putri, “Api Kartini dalam Perjuangan Petani Kendeng”, Historia (2017), diakses pada 8 Februari 2024, https://www.google.com/amp/s/historia.id/amp/politik/articles/api-kartini-dalam-perjuangan-petani-kendeng-PNREK

    Dewi Candraningrum, “Kartini Kedeng”, DW (2016), diakses pada 8 Februari 2024, https://www.dw.com/id/sembilan-rahim-kartini-kendeng/a-19197872

    Tarmizi Abbas, “Agama dan Ekologi dalam Gerakan Chipko di India”, CRCS UGM (2021), diakses pada 8 Februari 2024, https://crcs.ugm.ac.id/agama-dan-ekologi-dalam-gerakan-chipko-di-india/

    M.F. Mukthi, “Gerakan Memeluk Pohon”, Historia (2010), diakses pada 8 Februari 2024, https://www.google.com/amp/s/historia.id/amp/ekonomi/articles/gerakan-memeluk-pohon-PKgpP

    Rahma Juanita Paradilah, “Perempuan Seperti Alam Semesta (Ekofeminisme)”, Kompasiana (2022), diakses pada 8 Februari 2024, https://www.kompasiana.com/amp/rahma75872/628e049453e2c30b5a150b22/perempuan-sama-seperti-alam-ekofeminisme

    Penulis: Rio Ananda Andriana
    Instagram: @rio.anandaa
    LinkedIn: Rio Ananda Andriana

  • Ekofeminisme: Perjuangan dalam Melepas Belenggu Patriarki dan Eksploitasi Atas Alam

    Ekofeminisme: Perjuangan dalam Melepas Belenggu Patriarki dan Eksploitasi Atas Alam

    Krisis ekologi dan iklim yang sedari dulu terjadi, tidak terlepas dari kerakusan manusia yang hidup di Bumi. Kerakusan tersebut berakar dari kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri, alam, dan keterkaitan antara keduanya. Segala aktivitas manusia memang pasti akan selalu mengorbankan alam, akan tetapi aktivitas tersebut pada dasarnya bisa direduksi dengan cara pandang yang benar dan tidak harus berpusat pada pengorbanan alam. Oleh karena itu, hal fundamental agar alam ini membaik adalah mengubah cara pandang manusia adalah melakukan aktivitas yang terutama bermuara kepada eksploitasi alam. Dalam hal ini, maka ekofeminisme menawarkan suatu konsep yang dapat mendobrak dan memutus rantai pelanggengan eksploitasi alam, terutama juga yang berpandangan pada penindasan atas kehidupan perempuan.

    Cara Pandang Lahirnya Ekofeminisme
    Bahasan ekofeminisme menjadi bahasan yang kompleks untuk ditelaah. Ekofeminisme sendiri merupakan salah satu cabang dari feminisme. Feminisme merupakan sebuah aliran filsafat yang berorientasi pada mempersoalkan, mempertanyakan, dan menggugat cara pandang yang berpusat pada maskulin dan patriarki. Dalam kata lain, feminisme mendobrak batasan-batasan yang menyebabkan segala penindasan terjadi terhadap para perempuan yang dilakukan oleh laki-laki yang mempunyai tendensi anggapan relasi kuasa dan dominasi yang tinggi. Dalam konteks bahasan ini, maka adanya krisis ekologi erat kaitannya dengan perempuan yang juga secara bersamaan tertindas oleh kaum-kaum patriarki. Ekofeminisme sendiri pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Francoise d’Eaubonne dalam bukunya yang berjudul Le Feminisme Ou La Mort. Buku tersebut berisi mengenai gerakan perempuan dalam penyelamatan Bumi. Pada tahun 1975, Rosemary Radford Ruether, yaitu seorang cendekiawan feminis Amerika, mengungkapkan lewat tulisannya, bahwa tidak akan ada solusi terhadap krisis ekologi di masyarakat yang kaitan fundamentalnya adalah dominasi. Oleh karena itu, untuk menghancurkan dominasi tersebut, perempuan harus secara kolektif menyatukan kekuatan untuk menentang dan melawan segala bentuk diskriminasi dan penindasan dengan gerakan ekologi untuk mencapai pembebasan dan dengan tujuan menyelamatkan Bumi dari krisis ekologi. Dalam hal ini, para perempuan dan cendekiawan pada bidang ekologi kemudian melihat keterkaitan antara kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan sama dengan eksploitasi terhadap Bumi dan segala sumber daya alamnya oleh kaum patriarki dengan ekonomi kapitalisme yang menghancurkan. Dalam hal ini juga, menurut pemikiran patriarki, bahwa perempuan dan Bumi adalah objek yang bisa dieksploitasi. Sehingga dari narasi tersebut lahirlah gerakan ekofeminisme, dengan demikian hal ini seirama dengan apa yang dijadikan bahasan pada buku karya Francoise d’Eaubonne.

    Menyoal Keterkaitan Perempuan dan Alam
    Perempuan selalu disandingkan dan diasosiasikan dengan alam. Hal ini bisa dilihat dari ragam terminologi yang kita kenal di Indonesia seperti dalam penyebutan tanah air (Bumi) dan peristilahan ibu pertiwi yang mempunyai sifat feminitas. Hal tersebut tidak mengherankan bahwa masyarakat Indonesia dibentuk oleh kerangka patriarki, yang memberikan legitimasi pada dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga muncul istilah-istilah perempuan yang disandingkan dengan alam. Dalam konteks ini, Karen J. Warren mengungkapkan kerangka kerja androsentrisme. Androsentrisme sendiri berarti suatu cara pandang dan perilaku yang mengutamakan dominasi dan eksploitasi terhadap alam yang berpusat pada laki-laki. Adapun isi kerangka kerjanya, yaitu berpikir tentang nilai-hierarkis (semisal adanya ‘atas-bawah’), terus adanya dualisme nilai yang berarti bahwa adanya hal dalam melakukan penilaian moral secara dualistis (seperti laki-laki ditandingkan dengan perempuan dan manusia ditandingkan dengan alam), serta terakhir adanya penekanan pada logika-dominasi, contohnya argumentasi yang membenarkan subordinasi. Namun, pada faktanya perempuan memang akan selalu ‘di-alam-kan’ dan ‘di-feminim-kan’, seperti halnya ada istilah, dikuasai, digarap, dan dieksploitasi. Istilah-istilah tersebut digunakan dalam keterkaitannya dengan alam, seperti hutan yang dieksploitasi, tanah yang digarap, dan Bumi yang dikuasai. Sehingga kita tidak bisa menyangkal, bahwa perempuan dan alam memiliki keterkaitan, yaitu sama-sama ditindas oleh kaum patriarki atau mereka yang selalu menggunakan atribut maskulin. Selain itu, mengingat bahwa alam bersifat pasif, non-subjek, dan hanya sekedar memberi selalu dikaitkan dengan insting maternal dalam konsep ibu Bumi, yang juga sering disandingkan dengan Bumi yang melahirkan berbagai peradaban begitu pula perempuan yang melahirkan manusia untuk mengubahan suatu peradaban. Dan hal tersebut jelas pemaknaannya berkaitan dengan perempuan dan alam. Selain itu, jika dilihat dalam kacamata lain, misal jika terjadi kekeringan akibat bencana alam, maka perempuan adalah korban pertama, karena akan susah mendapatkan kebutuhan air bersih untuk menstruasi dan kebutuhan rumah tangga dan penggunaan kesehariannya. Pada akhirnya, ekofeminisme akan selalu menyoal tentang kedekatan perempuan dan alam, karena mengingat ekofeminisme adalah perlawanan atas eksploitasi alam dan pelanggengan sistem patriarki.

    Perjuangan Gerakan Ekofeminisme Sebagai Bentuk Perlawanan
    Bicara ekofeminisme berarti bicara perlawanan atas ketertindasan perempuan dan alam. Seperti dijelaskan di awal, bahwa ekofeminisme lahir untuk menentang segala bentuk diskriminasi yang bermuara pada penyelamatan Bumi. Dalam hal ini, saya akan mencoba memberi contoh realistis bentuk-bentuk dari perjuangan ekofeminisme di masa lalu dan masa sekarang melalui lensa global dan nasional. Dalam lensa global kita bisa melihat perjuangan ekofeminisme dari perempuan-perempuan di India. Dari dahulu bangsa di India sangat menggantungkan hidupnya pada hutan. Bagi perempuan, mereka dapat menemukan ragam sumber daya alam yang ada di hutan untuk kebutuhan sehari-hari, pakan ternak, bahkan bahan bakar. Alhasil, hutan adalah segala-galanya bagi mereka. Pada tahun 1974, Gaura Devi, seorang perempuan yang berasal dari desa Lata memimpin puluhan perempuan lainnya di desa Reni, bagian India Utara untuk menghentikan penebangan pohon yang dilakukan para kontraktor perusahaan-perusahaan ekstraktivisme dengan cara memeluk pohon-pohon tersebut. Mereka bertahan selama berhari-hari untuk memeluk dan menjaga pohon-pohon tersebut, sampai pada akhirnya para kontraktor menyerah dan meninggalkan kawasan tersebut. Gerakan ini berhasil menyelamatkan sebanyak 12.000 km hutan. Dan pasca gerakan tersebut berlangsung, pemerintah negara India membentuk sebuah komite untuk menginvestigasi deforestasi di wilayah tersebut dan membuat larangan terkait dengan penebangan komersial di daerah tersebut. Apa yang dilakukan oleh para perempuan di desa Reni, India tersebut dinamakan dengan gerakan chipko yang dalam bahasa Hindi berarti ‘memeluk’. Gerakan ini selain berhasil melakukan pengusiran para kontraktor, tetapi juga berhasil untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah agar pro lingkungan. Gerakan chipko ini merupakan salah satu bentuk perjuangan ekofeminisme yang dilakukan oleh perempuan dalam menyelamatkan Bumi. Di Indonesia sendiri perjuangan ekofeminisme banyak ditemui, salah satunya bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para perempuan di Kendeng, Jawa Timur terhadap pembangunan yang menindas dan merugikan. AWal mula konflik terjadi pada saat adanya rencana pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di desa Sukolilo, Pati Utara, Jawa Tengah. Namun, warga Sukolilo menolak adanya pembangunan pabrik semen tersebut, karena akan merusak lingkungan sekitar. Oleh karena itu, masyarakat Desa Sukolilo mengadakan aksi demonstrasi dan menggugat PT Semen Indonesia tentang menolak pembangunan pabrik semen tersebut. Sampai pada akhirnya di tahun 2009, warga Desa Sukolilo memenangkan gugatan di Mahkamah Agung yang membuat PT Semen Indonesia gagal untuk melakukan pembangunannya. Lalu, pada tahun 2009 PT Semen Indonesia mengalihkan rencana pembangunannya ke daerah Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di Kecamatan Gunem, Pegunungan Kendeng, Rembang. Namun, Warga Kendeng juga menolak adanya pembangunan tersebut, karena dinilai dapat mengganggu cekungan air tanah (CAT) yang menjadi sandaran warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, terutama perempuan yang juga mencari bahan-bahan pokok dari alam. Selain itu, Selain itu, kaki Pegunungan Kendeng merupakan tempat tinggal bagi orang Samin yang menggantungkan seluruh kehidupannya pada alam, tentu saja jika pembangunan dilakukan akan merusak ekosistem alam di daerah tersebut. Pada tahun 2016 sebanyak 9 petani perempuan Kendeng menyemen kakinya di depan Istana Negara, hal ini dilakukan sebagai bentuk protes atas rencana pembangunan pabrik semen yang dapat merusak pegunungan/karst kendeng tersebut. Bentuk protes yang dilakukan oleh para perempuan Kendeng ini juga merupakan perjuangan ekofeminisme untuk menyelamatkan alam dan manusia. Dari kedua contoh gerakan ekofeminisme tersebut dapat kita lihat, bahwa pada dasarnya gerakan ekofeminisme adalah perjuangan nir-kekerasan yang percaya, bahwa aksi damai yang dilakukan karena alasan etis dan kepercayaan atas kekuatan kolektif, serta bertujuan untuk menjadikan lawan menjadi kawan demi kepentingan kolektif untuk terhindarnya krisis ekologi.

    Kesimpulan
    Pada akhirnya ekofeminisme merupakan suatu cara pandang kita dalam memperjuangkan dan melawan segala bentuk eksploitasi terhadap alam dan diskriminasi perempuan dengan melanggengkannya sistem patriarki. Ekofeminisme cukup sesederhana yang biasa ibu kita lakukan ketika pagi hari, yaitu menyiram tanaman atau pohon di depan rumah atau juga mencoba bercocok tanam dengan merawat tumbuhan secara berkelanjutan. Di akhir bacaan ini, saya mengambil salah satu kutipan bagus dari Mama Aleta Baun yang juga seorang aktivis perempuan dari Nusa Tenggara Timur yang menentang penambangan marmer di NTT dengan menenun. Mama Aleta berkata, bahwa “Saya anak seorang Amaf (Raja), tetapi saya perempuan. Menurut adat, saya tidak punya hak untuk bersuara dan tidak berhak menjadi Pemimpin. Tetapi saya memimpin perjuangan menolak tambang. Kami, laki-laki dan perempuan harus berjuang untuk menyelamatkan tubuh kami.”

    Referensi:
    Buku
    A. Sonny Keraf. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Kompas

    Jurnal
    Susilo & Kodir, “Politik Tubuh Perempuan: Bumi, Kuasa, dan Perlawanan”, Jurnal Politik, Vol. 1, No. 2, Februari, 2016, hlm. 2-6.

    Purbandani & Mahaswa, “Ekofeminisme Kritis: Menelaah Ulang Gender, Keadilan Ekologi, dan Krisis Iklim”, Jurnal Perempuan, Vol. 3, No. 27, Desember, 2022, hlm. 227-229

    Asmarani, “Ekofeminisme dalam Antroposen: Relevankan? Kritik Terhadap Gagasan Ekofeminisme”, Jurnal Muldisipliner Mahasiswa Indonesia, Vol. 1, No. 1, 2018, hlm. 131-134

    Internet
    Magdalene, “Ekofeminisme Perempuan dan Pelestarian Lingkungan”, Magdalene (2020), diakses pada 7 Februari 2024, https://magdalene.co/story/ekofeminisme-perempuan-dalam-pelestarian-lingkungan-hidup/

    WALHI Sulawesi Selatan, “Ekofeminisme dan Perlawanan Nirkekerasan Srikandi Kendeng Terhadap Pembangunan yang Menindas”, WALHI Sulawesi Utara (2020), diakses pada 8 Februari 2024, https://walhisulsel.or.id/2978-ekofeminisme-dan-perlawanan-nirkekerasan-srikandi-kendeng-terhadap-pembangunan-yang-menindas/

    Ica Wulansari, “Kendeng dan Gerakan Ekofeminisme”, Mongabay Indonesia (2017), diakses pada 8 Februari 2024, https://www.mongabay.co.id/2017/03/06/kendeng-dan-gerakan-ekofeminisme/amp/

    Risa Herdahita Putri, “Api Kartini dalam Perjuangan Petani Kendeng”, Historia (2017), diakses pada 8 Februari 2024, https://www.google.com/amp/s/historia.id/amp/politik/articles/api-kartini-dalam-perjuangan-petani-kendeng-PNREK

    Dewi Candraningrum, “Kartini Kedeng”, DW (2016), diakses pada 8 Februari 2024, https://www.dw.com/id/sembilan-rahim-kartini-kendeng/a-19197872

    Tarmizi Abbas, “Agama dan Ekologi dalam Gerakan Chipko di India”, CRCS UGM (2021), diakses pada 8 Februari 2024, https://crcs.ugm.ac.id/agama-dan-ekologi-dalam-gerakan-chipko-di-india/

    M.F. Mukthi, “Gerakan Memeluk Pohon”, Historia (2010), diakses pada 8 Februari 2024, https://www.google.com/amp/s/historia.id/amp/ekonomi/articles/gerakan-memeluk-pohon-PKgpP

    Rahma Juanita Paradilah, “Perempuan Seperti Alam Semesta (Ekofeminisme)”, Kompasiana (2022), diakses pada 8 Februari 2024, https://www.kompasiana.com/amp/rahma75872/628e049453e2c30b5a150b22/perempuan-sama-seperti-alam-ekofeminisme