Tag: Self Development

  • Gabung organisasi di kampus, wajib gak sih?

    Gabung organisasi di kampus, wajib gak sih?

    Halo, namaku Febriyanti Eryana Putri mahasiswa semester 6 Universitas Singaperbangsa Karawang. Salah satu hal yang dulu paling aku takutkan dari perkuliahan adalah anak anak organisasi. Stigma kalau anak organisasi adalah mahasiswa mahasiswa yang Cuma mentingin relasi daripada kegiatan akademik agaknya sangat melekat di kepalaku. Begitupun mungkin yang tertanam di kepala kita karena maraknya film film indonesia yang menggambarkan betapa kejamnya masa orientasi mahasiswa baru oleh kakak tingkat yang sangat senioritas. Dulu, aku berfikir “apakah organisasi membentuk kita jadi senioritas? Apakah organisasi ini sebenarnya Cuma keren kerenan aja supaya ga malu malu banget kalo nilai kita anjlok”. Nyatanya, memang banyak mahasiswa yang tergabung ke organisasi dan mengganggu aktivitas akademiknya. Salah satu konten di tiktok yang pernah kutonton, memberi testimoni bahwa teman sekelasnya yang bergabung ke organisasi adalah mahasiswa yang mereka sebut “beban” karena hanya aktif di kelas tanpa pernah bergabung dalam kegiatan kerja kelompok.

    Aku pribadi tadinya enggan mengikuti organisasi di perkuliahan, aku sangat pasif dengan kegiatan diluar kelas hingga semster 3. Di semester 4, aku baru menyadari bahwa tidak ada salahnya mencoba bergabung ke dalam 1 organisasi dulu. Tentang bagaimana organisasi itu membentukku dan bagaimana aku dimata teman temanku nantinya, bisa diatasi selama aku mampu mempertanggung jawabkan keputusanku. Akhirnya aku memutuskan untuk tergabung dalam suatu organisasi di lingkup universitas bernama Forum Mahasiswa Bidikmisi dan KIP Kuliah Universitas Singaperbangsa Karawang atau disebut FORMADIKIP UNSIKA.

    Setelah tergabung di organisasi ini, aku membuang jauh jauh rasa takutku terhadap organisasi. Aku juga tidak lagi berfikir bahwa semua organisasi dapat membentuk seseorang menjadi senioritas dan tidak bertanggung jawab. Formadikip justru memberiku banyak pelajaran berharga. Lain kali, aku akan ceritakan seseru apa pengalamanku di FORMADIKIP UNSIKA.

    Saat tergabung di organisasi ini, aku mengikuti banyak kelas yang difasilitasi oleh organisasi diantaranya : kelas keorganisasian, pelajaran kebirokrasian, kelas critical thinking & problem solving, kelas desain, kelas kesekretariatan, pelatihan karya tulis ilmiah dan masih banyak lagi. Itu baru kelas kelas teoritis yang diajarkan, belum pelajaran pelajaran yang aku dapatlan dilapangan seperti ilmu menjadi panitia, leadership dan making decision.

    Di formadikip, aku menjabat sebagai sekretaris departemen. Sebagai seseorang yang belum memiliki pengalaman sebagai sekretaris dimanapun, aku seringkali kewalahan. Ditambah harus membagi tugas antara organisasi dan tugas tugas kuliah. Tapi tebak apa? Aku mampu melwati semua itu. Aku bahkan tetap mampu mengerjakan tugas kelompok sendirian. Meski tergabung ke organisasi, aku tetap mampu mempertahankan IPK-ku. Hal ini dikarenakan sebanyak apapun tugas yang aku dapatkan, formadikip tidak pernah memberiku tekanan. Meski tergabung ke organisasi, aku tahu betul bahwa prioritas utamaku berkuliah adalah belajar untuk mencari ilmu termasuk mengerjakan tugas tugas kuliah. Bahkan jika aku dihadapkan antara mengerjakan tugas kuliah atau mengerjakan tugas organisasi. Untungnya, aku tergabung di organisasi yang sangat memahami bahwa organisasi bukanlah prioritas utama. Biasanya mereka (para SC/Senior organisasi), memberikan keringanan berupa sedikit bantuan ataupun tenggat tugas yang diperpanjang.

    Tentu saja tidak semua organisasi seramah FORMADIKIP UNSIKA. Beberapa temanku ada yang mengeluh tentang betapa organisasinya sangat menjunjung tinggi senioritas dan memiliki birokarsi yang tidak jelas kemana alurnya.

    Jadi, apakah bergabung ke organisasi kampus wajibb atau tidak? Semuanya kembali ke dirimu sendiri. Pastikan kamu rmempelajari budaya di organisasi itu dengan bertanya pada teman temanmu yang pernah tergabung kesana. Lihat para pengurus organisasinya apakah kamu rasa kamu mampu seperti itu atau tidak. Dan tanyakan pada dirimu apakah kamu mampu bertanggung jawab nantinya atau tidak. Ada banyak cara untuk mengetahui apakah lingkungan organisasi yang ingin kamu masuki memiliki lingkungan yang sehat atau tidak. Semua pilihan ada ditanganmu.

    Lain kali, aku akan ceritakan seseru apa pengalamanku di FORMADIKIP UNSIKA.

  • YOU AN’T CHANGE PEOPLE AROUND YOU, BUT YOU CAN CHANGE PEOPLE AROUND YOU

    YOU AN’T CHANGE PEOPLE AROUND YOU, BUT YOU CAN CHANGE PEOPLE AROUND YOU

    Pernahkah kamu terjebak di lingkungan yang toxic? Lingkungan di mana orang-orangnya punya perilaku, sikap, atau budaya yang negatif dan merusak kesejahteraan orang-orang di dalamnya.

    Halo, namaku Febriyanti Eryana Putri mahasiswi semester 6 dari Universitas Singaperbangsa Karawang. Di Sharing Knowledge ini aku ingin membagikan hal hal seputar “toxic environment” yang bisa saja terjadi disekitar kita. Dan bagaimana cara menghindarinya? Yuk simak artikel ini.

    Seperti yang kutulis sebelumnya, lingkungan di mana orang-orangnya punya perilaku, sikap, atau budaya yang negatif dan merusak kesejahteraan orang-orang di dalamnya. Tapi bagaimana kita tahu bahwa kita sedang terjebak di lingkungan toxic itu? Berikut adalah beberapa contoh perilaku toxic berdasarkan pengalamanku :

    • Kritik yang Merusak

    Kritik yang tidak konstruktif, cenderung menyerang pribadi, merendahkan, atau menghina yang dapat membuat rasa percaya diri anjlok dan harga diri runtuh.

    • Gosip dan Rumor

    Lingkungan yang dipenuhi gosip dan rumor negatif. Ini membuat rasa aman dan nyaman menjadi hilang.

    • Persaingan Tidak Sehat

    Persaingan yang nggak sehat, di mana orang lebih suka menjatuhkan daripada saling mendukung untuk sama sama berkembang.

    • Kurangnya Dukungan

    Minim dukungan atau pengakuan terhadap prestasi dan usaha seseorang. Orang-orang di lingkungan ini lebih suka mengabaikan atau meremehkan pencapaian satu sama lain.

    • Manipulasi dan Kontrol

    Ada individu atau kelompok yang berusaha mengontrol atau memanipulasi orang lain buat keuntungan pribadi mereka. Biasanya, ini dilakukan dengan cara yang tidak adil atau nggak etis.

    • Ketidakadilan dan Diskriminasi

    Perlakuan yang tidak adil atau diskriminatif berdasarkan latar belakang, penampilan, atau preferensi pribadi.

    • Negativitas Berlebihan

    Atmosfer yang dipenuhi pesimisme, keluhan terus-menerus, dan pandangan negatif terhadap segala sesuatu yang membuat hilangnya energi dan semangat.

    • Kurangnya Empati dan Pengertian

    Ketidakmampuan atau ketidakmauan buat memahami atau merasakan perasaan dan perspektif orang lain. Ini menghambat komunikasi yang sehat dan saling pengertian.

    Lingkungan toxic bisa ada di mana aja, di sekolah, tempat kerja, komunitas, bahkan dalam hubungan personal. Dampaknya bisa sangat merugikan, mulai dari kesehatan mental dan emosional yang terganggu, hingga produktivitas dan semangat hidup yang turun.

    Tapi kan, kita tidak bisa mengubah orang orang disekitar kita? Bagaimana jika kita terlanjur ‘terjebak’ di lingkungan toxic itu? Itulah makna dari kutipan “You can’t change people around you, but you can change people around you”. Kamu pasti pernah mendengar kutipan itu setidaknya sekali dalam hidupmu. Makna dari kutipan itu adalah benar, kamu tidak bisa mengubah ‘perilaku’ orang orang disekitarmu. Cara mereka memandangmu, cara mereka pesimis satu sama lain, perilaku negative lingkungan yang perlahan mengikis semangatmu untuk maju, tidaklah mampu untuk kamu ubah. Tapi ada 1 yang bisa kamu ubah. Yap, LINGKUNGANMU. Kamu tidak bisa merubah ‘perilaku’ orang orang disekitarmu tapi kamu bisa ubah siapa yang ada di sekitarmu dengan masuk ke lingkungan yang lebih positif.

    Berdasarkan pengalamanku, meninggalkan lingkungan toxic dan mulai masuk ke lingkungan yang lebih positif bisa dilakukan dengan beberapa langkah berikut:

    1. Langkah pertama adalah menyadari bahwa kamu berada di lingkungan toxic. Akui dampak negatifnya terhadap kesehatan mental dan emosionalmu.
    2. Belajar untuk menetapkan batasan yang jelas dengan orang-orang yang toxic. Jangan takut untuk mengatakan “tidak” atau menjaga jarak dari mereka. Hal ini biasa disebut dengan istilah “Boundaries”.
    3. Temukan orang-orang yang mendukung dan peduli padamu. Bisa dari keluarga, teman dekat, atau bahkan komunitas baru yang punya minat yang sama.
    4. Jangan terlibat dalam drama atau gosip yang ada di lingkungan toxic. Fokus pada hal-hal positif dan produktif.
    5. Fokus pada pengembangan diri. Ikuti kegiatan yang kamu sukai, belajar hal baru, atau terlibat dalam proyek yang membuatmu merasa bersemangat.
    6. Jika memungkinkan, bicarakan masalahmu dengan orang-orang di lingkungan toxic tersebut. Kadang, mereka mungkin tidak menyadari dampak perilaku mereka.
    7. Mulailah mencari lingkungan baru yang lebih positif. Bergabung dengan klub, komunitas, atau organisasi yang sesuai dengan minatmu.
    8. Lakukan kegiatan yang bisa menjaga kesehatan mentalmu, seperti meditasi, olahraga, atau sekadar waktu untuk diri sendiri.
    9. Pertahankan sikap positif dan optimis. Percaya bahwa kamu layak mendapatkan lingkungan yang lebih baik dan orang-orang yang mendukungmu.
    10. Secara aktif cari dan jalin hubungan dengan orang-orang yang positif. Mereka akan memberimu energi, dukungan, dan inspirasi untuk berkembang.
    11. Selalu evaluasi kondisi lingkunganmu secara berkala. Pastikan kamu tetap berada di tempat yang mendukung dan membangun.

    Contohnya, jika kamu merasa lingkungan sekolah atau kampus terlalu toxic, coba untuk lebih aktif di organisasi atau komunitas yang sesuai dengan minat dan hobimu. Ini bisa jadi cara untuk bertemu orang-orang baru yang punya energi positif. Tidak mudah memang. Tapi perlu diingat, perubahan ini butuh waktu dan usaha, tapi dengan langkah-langkah yang konsisten, kamu bisa meninggalkan lingkungan toxic dan menemukan tempat yang lebih mendukung perkembangan dirimu.

  • You can’t change people around you, but you can change people around you

    You can’t change people around you, but you can change people around you

    Pernahkah kamu terjebak di lingkungan yang toxic? lingkungan di mana orang-orangnya punya perilaku, sikap, atau budaya yang negatif dan merusak kesejahteraan orang-orang di dalamnya. Berikut adalah beberapa contoh perilaku toxic berdasarkan pengalamanku :

    • Kritik yang Merusak

    Kritik yang tidak konstruktif, cenderung menyerang pribadi, merendahkan, atau menghina yang dapat membuat rasa percaya diri anjlok dan harga diri runtuh.

    • Gosip dan Rumor

    Lingkungan yang dipenuhi gosip dan rumor negatif. Ini membuat rasa aman dan nyaman menjadi hilang.

    • Persaingan Tidak Sehat

    Persaingan yang nggak sehat, di mana orang lebih suka menjatuhkan daripada saling mendukung untuk sama sama berkembang.

    • Kurangnya Dukungan

    Minim dukungan atau pengakuan terhadap prestasi dan usaha seseorang. Orang-orang di lingkungan ini lebih suka mengabaikan atau meremehkan pencapaian satu sama lain.

    • Manipulasi dan Kontrol

    Ada individu atau kelompok yang berusaha mengontrol atau memanipulasi orang lain buat keuntungan pribadi mereka. Biasanya, ini dilakukan dengan cara yang tidak adil atau nggak etis.

    • Ketidakadilan dan Diskriminasi

    Perlakuan yang tidak adil atau diskriminatif berdasarkan latar belakang, penampilan, atau preferensi pribadi.

    • Negativitas Berlebihan

    Atmosfer yang dipenuhi pesimisme, keluhan terus-menerus, dan pandangan negatif terhadap segala sesuatu yang membuat hilangnya energi dan semangat.

    • Kurangnya Empati dan Pengertian

    Ketidakmampuan atau ketidakmauan buat memahami atau merasakan perasaan dan perspektif orang lain. Ini menghambat komunikasi yang sehat dan saling pengertian.

    Lingkungan toxic bisa ada di mana aja, di sekolah, tempat kerja, komunitas, bahkan dalam hubungan personal. Dampaknya bisa sangat merugikan, mulai dari kesehatan mental dan emosional yang terganggu, hingga produktivitas dan semangat hidup yang turun.

    Tapi kan, kita tidak bisa mengubah orang orang disekitar kita? Bagaimana jika kita terlanjur ‘terjebak’ di lingkungan toxic itu? Itulah makna dari kutipan “You can’t change people around you, but you can change people around you”. Kamu pasti pernah mendengar kutipan itu setidaknya sekali dalam hidupmu. Makna dari kutipan itu adalah benar, kamu tidak bisa mengubah ‘perilaku’ orang orang disekitarmu. Cara mereka memandangmu, cara mereka pesimis satu sama lain, perilaku negative lingkungan yang perlahan mengikis semangatmu untuk maju, tidaklah mampu untuk kamu ubah. Tapi ada 1 yang bisa kamu ubah. Yap, LINGKUNGANMU. Kamu tidak bisa merubah ‘perilaku’ orang orang disekitarmu tapi kamu bisa ubah siapa yang ada di sekitarmu dengan masuk ke lingkungan yang lebih positif.

    Berdasarkan pengalamanku, meninggalkan lingkungan toxic dan mulai masuk ke lingkungan yang lebih positif bisa dilakukan dengan beberapa langkah berikut:

    1. Langkah pertama adalah menyadari bahwa kamu berada di lingkungan toxic. Akui dampak negatifnya terhadap kesehatan mental dan emosionalmu.
    2. Belajar untuk menetapkan batasan yang jelas dengan orang-orang yang toxic. Jangan takut untuk mengatakan “tidak” atau menjaga jarak dari mereka. Hal ini biasa disebut dengan istilah “Boundaries”.
    3. Temukan orang-orang yang mendukung dan peduli padamu. Bisa dari keluarga, teman dekat, atau bahkan komunitas baru yang punya minat yang sama.
    4. Jangan terlibat dalam drama atau gosip yang ada di lingkungan toxic. Fokus pada hal-hal positif dan produktif.
    5. Fokus pada pengembangan diri. Ikuti kegiatan yang kamu sukai, belajar hal baru, atau terlibat dalam proyek yang membuatmu merasa bersemangat.
    6. Jika memungkinkan, bicarakan masalahmu dengan orang-orang di lingkungan toxic tersebut. Kadang, mereka mungkin tidak menyadari dampak perilaku mereka.
    7. Mulailah mencari lingkungan baru yang lebih positif. Bergabung dengan klub, komunitas, atau organisasi yang sesuai dengan minatmu.
    8. Lakukan kegiatan yang bisa menjaga kesehatan mentalmu, seperti meditasi, olahraga, atau sekadar waktu untuk diri sendiri.
    9. Pertahankan sikap positif dan optimis. Percaya bahwa kamu layak mendapatkan lingkungan yang lebih baik dan orang-orang yang mendukungmu.
    10. Secara aktif cari dan jalin hubungan dengan orang-orang yang positif. Mereka akan memberimu energi, dukungan, dan inspirasi untuk berkembang.
    11. Selalu evaluasi kondisi lingkunganmu secara berkala. Pastikan kamu tetap berada di tempat yang mendukung dan membangun.

    Contohnya, jika kamu merasa lingkungan sekolah atau kampus terlalu toxic, coba untuk lebih aktif di organisasi atau komunitas yang sesuai dengan minat dan hobimu. Ini bisa jadi cara untuk bertemu orang-orang baru yang punya energi positif. Tidak mudah memang. Tapi perlu diingat, perubahan ini butuh waktu dan usaha, tapi dengan langkah-langkah yang konsisten, kamu bisa meninggalkan lingkungan toxic dan menemukan tempat yang lebih mendukung perkembangan dirimu.

  • You can change people around you, but you can change people around you

    You can change people around you, but you can change people around you

    Pernahkah kamu terjebak di lingkungan yang toxic? lingkungan di mana orang-orangnya punya perilaku, sikap, atau budaya yang negatif dan merusak kesejahteraan orang-orang di dalamnya. Berikut adalah beberapa contoh perilaku toxic berdasarkan pengalamanku :

    • Kritik yang Merusak

    Kritik yang tidak konstruktif, cenderung menyerang pribadi, merendahkan, atau menghina yang dapat membuat rasa percaya diri anjlok dan harga diri runtuh.

    • Gosip dan Rumor

    Lingkungan yang dipenuhi gosip dan rumor negatif. Ini membuat rasa aman dan nyaman menjadi hilang.

    • Persaingan Tidak Sehat

    Persaingan yang nggak sehat, di mana orang lebih suka menjatuhkan daripada saling mendukung untuk sama sama berkembang.

    • Kurangnya Dukungan

    Minim dukungan atau pengakuan terhadap prestasi dan usaha seseorang. Orang-orang di lingkungan ini lebih suka mengabaikan atau meremehkan pencapaian satu sama lain.

    • Manipulasi dan Kontrol

    Ada individu atau kelompok yang berusaha mengontrol atau memanipulasi orang lain buat keuntungan pribadi mereka. Biasanya, ini dilakukan dengan cara yang tidak adil atau nggak etis.

    • Ketidakadilan dan Diskriminasi

    Perlakuan yang tidak adil atau diskriminatif berdasarkan latar belakang, penampilan, atau preferensi pribadi.

    • Negativitas Berlebihan

    Atmosfer yang dipenuhi pesimisme, keluhan terus-menerus, dan pandangan negatif terhadap segala sesuatu yang membuat hilangnya energi dan semangat.

    • Kurangnya Empati dan Pengertian

    Ketidakmampuan atau ketidakmauan buat memahami atau merasakan perasaan dan perspektif orang lain. Ini menghambat komunikasi yang sehat dan saling pengertian.

    Lingkungan toxic bisa ada di mana aja, di sekolah, tempat kerja, komunitas, bahkan dalam hubungan personal. Dampaknya bisa sangat merugikan, mulai dari kesehatan mental dan emosional yang terganggu, hingga produktivitas dan semangat hidup yang turun.

    Tapi kan, kita tidak bisa mengubah orang orang disekitar kita? Bagaimana jika kita terlanjur ‘terjebak’ di lingkungan toxic itu? Itulah makna dari kutipn “You can change people around you, but you can change people around you”. Kamu pasti pernah mendengar kutipan itu setidaknya sekali dalam hidupmu. Makna dari kutipan itu adalah benar, kamu tidak bisa mengubah ‘perilaku’ orang orang disekitarmu. Cara mereka memandangmu, cara mereka pesimis satu sama lain, perilaku negative lingkungan yang perlahan mengikis semangatmu untuk maju, tidaklah mampu untuk kamu ubah. Tapi ada 1 yang bisa kamu ubah. Yap, LINGKUNGANMU. Kamu tidak bisa merubah ‘perilaku’ orang orang disekitarmu tapi kamu bisa ubah siapa yang ada di sekitarmu dengan masuk ke lingkungan yang lebih positif.

    Berdasarkan pengalamanku, meninggalkan lingkungan toxic dan mulai masuk ke lingkungan yang lebih positif bisa dilakukan dengan beberapa langkah berikut:

    1. Langkah pertama adalah menyadari bahwa kamu berada di lingkungan toxic. Akui dampak negatifnya terhadap kesehatan mental dan emosionalmu.
    2. Belajar untuk menetapkan batasan yang jelas dengan orang-orang yang toxic. Jangan takut untuk mengatakan “tidak” atau menjaga jarak dari mereka. Hal ini biasa disebut dengan istilah “Boundaries”.
    3. Temukan orang-orang yang mendukung dan peduli padamu. Bisa dari keluarga, teman dekat, atau bahkan komunitas baru yang punya minat yang sama.
    4. Jangan terlibat dalam drama atau gosip yang ada di lingkungan toxic. Fokus pada hal-hal positif dan produktif.
    5. Fokus pada pengembangan diri. Ikuti kegiatan yang kamu sukai, belajar hal baru, atau terlibat dalam proyek yang membuatmu merasa bersemangat.
    6. Jika memungkinkan, bicarakan masalahmu dengan orang-orang di lingkungan toxic tersebut. Kadang, mereka mungkin tidak menyadari dampak perilaku mereka.
    7. Mulailah mencari lingkungan baru yang lebih positif. Bergabung dengan klub, komunitas, atau organisasi yang sesuai dengan minatmu.
    8. Lakukan kegiatan yang bisa menjaga kesehatan mentalmu, seperti meditasi, olahraga, atau sekadar waktu untuk diri sendiri.
    9. Pertahankan sikap positif dan optimis. Percaya bahwa kamu layak mendapatkan lingkungan yang lebih baik dan orang-orang yang mendukungmu.
    10. Secara aktif cari dan jalin hubungan dengan orang-orang yang positif. Mereka akan memberimu energi, dukungan, dan inspirasi untuk berkembang.
    11. Selalu evaluasi kondisi lingkunganmu secara berkala. Pastikan kamu tetap berada di tempat yang mendukung dan membangun.

    Contohnya, jika kamu merasa lingkungan sekolah atau kampus terlalu toxic, coba untuk lebih aktif di organisasi atau komunitas yang sesuai dengan minat dan hobimu. Ini bisa jadi cara untuk bertemu orang-orang baru yang punya energi positif. Tidak mudah memang. Tapi perlu diingat, perubahan ini butuh waktu dan usaha, tapi dengan langkah-langkah yang konsisten, kamu bisa meninggalkan lingkungan toxic dan menemukan tempat yang lebih mendukung perkembangan dirimu.

  • Life indeed must be absrurb

    “Nothing good is happening in my life.”

    This was the recurring thought I faced every morning and night. The days felt monotonous, and even food lost its flavor.

    Achieved excellent grades, got into a prestigious university, and secured an ideal job. “Is this all there is to life?”

    In my younger days, life felt vibrant. A 60% on a biology test didn’t bother me—I could always do better next time. Losing a few friends wasn’t a big deal—I could always make new ones. I studied, played, and read books.

    But now, in my 20s, those once insignificant things have become overwhelming burdens. Life started to feel like a never-ending maze with no escape.

    Wake up, work, return home, sleep.

    You repeat this cycle and wonder—”Is this it?”

    Reaching a state where nothing seems to matter, I found something that offered a fresh perspective.

    Absurdism. This philosophy is straightforward. Life is absurd.

    You’re born into a world with pre-established rules. Whenever you try to explore, there are people ready to hold you back before you can even start. You work, eat, do everything, but forget to ask yourself one vital question—are you happy?

    Absurdism is a philosophy that examines the clash between our search for meaning and the chaotic, uncaring universe.

    Life is irrational and often lacks true purpose. We think life is tragic because it’s harsh, and we constantly blame others, leading to bitterness.

    Absurdism doesn’t try to define the meaning of life; instead, it suggests that life inherently lacks meaning.

    Wait, So What Makes This a Philosophy?
    When you’re pressured to find life’s meaning, you search desperately. You look for it in hobbies, in mundane jobs, sometimes in other people. When you can’t find it, you experience those negative feelings of emptiness.

    But what if you don’t need to find meaning? What if the journey is more important than the lessons it teaches?

    At its heart, absurdism acknowledges human life’s contradictions and irrationalities. It accepts that life is intrinsically meaningless and without inherent value. We aren’t born with a predefined purpose—life becomes enjoyable when we create our own meaning.

    Instead of falling into nihilism or despair, absurdism encourages us to confront life’s absurdity and find meaning amidst the chaos.

    Bad things happen more often than I realized; I then realized that I experienced it early in journey. It’s not the last thing in the world; in a month or two, I’ll find an even better one. When I started responding to negative thoughts with “so what,” life began to make sense again.

    So what if I’m earning less now?
    So what if I don’t have my own business yet?
    If not now, then later. If life’s purpose is to create a purpose, I’ll build mine soon.

  • Glide with Heart, Paint the Stars

    Glide with Heart, Paint the Stars

    Menjadi jiwa yang memiliki sifat empati, mampu beradaptasi, dan mengedepankan nilai-nilai konservasi adalah tiga nilai yang dibawakan oleh Pengenalan Departemen Biologi (PDB) 2023. Saya, selaku salah satu Pengurus Inti menjadi saksi proses implementasi nilai-nilai tersebut kepada lebih dari 110 mahasiswa baru. Pengalaman selama sembilan bulan inilah yang mengajarkan saya untuk tetap rendah hati dalam menggapai mimpi.

    Dimulai dari pembentukan konsep pada awal Januari 2023, saya dan enam orang lainnya berusaha memberikan program terbaik untuk mentransfer ilmu kepada mahasiswa baru. Kami menerima masukan dari puluhan orang dan mengolahnya sebaik mungkin menjadi konsep yang matang. Konsep-konsep itulah yang menjadi cikal bakal rangkaian acara dari PDB 2023.

    Akhir Agustus 2023, rangkaian acara dimulai dengan Opening Ceremony untuk memperkenalkan apa yang akan mahasiswa baru hadapi selama satu bulan ke depan. Seminggu kemudian, acara dilanjutkan dengan pengenalan Unit Kegiatan Mahasiswa Departemen dan Pengamatan Lapangan untuk memperkenalkan lingkungan Biologi. Debat Konservasi dan Seminar Bioprospeksi untuk memberikan rasa bangga terhadap biodiversitas pada dua pekan setelahnya. Kemudian mentoring untuk menumbuhkan rasa empati dan adaptif kepada mahasiswa baru. Sebagai penutup, Grand Closing diselenggarakan pada akhir September 2023.

    Seluruh rangkaian acara memiliki kesan tersendiri bagi saya. Saya belajar bagaimana kolaborasi menciptakan ruang akselerasi. Proses penyelesaian masalah secara progresif memberikan ruang bagi saya untuk berpikir panjang sebelum mengambil keputusan. Saya juga belajar bagaimana menyikapi tim yang tidak sejalan dengan pemikiran saya. Terakhir, yang tak kalah penting, saya belajar untuk tetap rendah hati dalam mencapai tujuan.

    Pada dasarnya, semua manusia membutuhkan mimpi sebagai “bintang” untuk diraih. Penting untuk selalu rendah hati, memiliki keinginan kuat untuk belajar, serta selalu berdampak bagi sekitar.