Tag: #tradisi #jepara

  • Festival Memeden Gadhu, Sebuah Tradisi Petani Kuno yang Masih Lestari

    Festival Memeden Gadhu adalah salah satu tradisi unik yang terdapat di Desa Kepuk, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara. Festival ini merupakan bagian dari upacara sedekah bumi, sebuah ritual yang dilakukan masyarakat setempat untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah serta memohon perlindungan dari segala bencana.

    Nama “Memeden Gadhu” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti “orang-orangan sawah”. Dalam festival ini, warga desa membuat berbagai macam orang-orangan sawah dengan beragam bentuk dan ukuran, yang kemudian diarak keliling desa. Orang-orangan sawah ini tidak hanya berfungsi sebagai simbol untuk mengusir hama dari tanaman, tetapi juga mencerminkan kreativitas dan kekompakan warga desa dalam menjaga tradisi.

    Pelaksanaan Festival Memeden Gadhu biasanya dimulai dengan upacara adat yang dipimpin oleh sesepuh desa. Selanjutnya, warga berkumpul di balai desa untuk mempersiapkan orang-orangan sawah yang akan diarak. Proses pembuatan orang-orangan sawah ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, sehingga menjadi ajang berkumpul dan mempererat hubungan antarwarga.

    Selain arak-arakan orang-orangan sawah, festival ini juga dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan seni tradisional seperti wayang kulit, tari-tarian, dan musik gamelan. Para pengunjung yang datang tidak hanya disuguhi tontonan yang menarik, tetapi juga dapat menikmati berbagai kuliner khas Jepara yang disajikan oleh warga setempat.

    Festival Memeden Gadhu tidak hanya menjadi daya tarik wisata, tetapi juga memiliki nilai edukatif. Melalui festival ini, generasi muda diajarkan untuk mencintai dan melestarikan warisan budaya nenek moyang mereka. Selain itu, festival ini juga menjadi sarana untuk memperkenalkan kebudayaan Jepara kepada dunia luar, sehingga dapat meningkatkan pariwisata dan perekonomian daerah.

    Dengan segala keunikan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, Festival Memeden Gadhu layak untuk diusulkan menjadi warisan budaya tak benda. Pemerintah daerah dan masyarakat setempat terus berupaya untuk menjaga dan mengembangkan festival ini agar tetap lestari dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

    Festival Memeden Gadhu di Desa Kepuk, Bangsri, Jepara, adalah cermin dari kekayaan budaya Indonesia yang harus terus dijaga dan dilestarikan. Melalui festival ini, kita dapat belajar banyak tentang kearifan lokal dan nilai-nilai kehidupan yang diwariskan oleh leluhur kita. Mari kita dukung dan promosikan festival ini agar semakin dikenal dan diapresiasi oleh masyarakat luas.

  • Tradisi Tahunan Perang Obor di Desa Tegal Sambi sebagai Ritual Tolak Bala

    Tradisi Tahunan Perang Obor di Desa Tegal Sambi sebagai Ritual Tolak Bala

    Menggali Sejarah dan Makna Perang Obor

    Perang Obor, sebuah tradisi unik yang diadakan setiap tahun di Desa Tegal Sambi, Kabupaten Jepara, telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat lokal maupun wisatawan. Pada tahun ini, tradisi ini digelar pada Senin malam, 20 Mei 2024.

    Menurut wawancara dengan Kepala Desa Tegal Sambi, Agus Santoso, pada 14 April 2024, tradisi ini bermula dari kisah para sesepuh desa, yakni Kyai Babadan yang kaya raya dan memiliki banyak ternak, serta kerabatnya, Mbah Gemblong. Awalnya, mereka bekerja sama merawat hewan ternak dengan baik, namun suatu hari terjadi kesalahpahaman. Saat seekor hewan ternak sakit kemudian mati, Kyai Babadan melihat Mbah Gemblong membakar dan memakan ikan di tepi sungai. Kyai Babadan mengira Mbah Gemblong tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dan marah besar. Ia mencabut obor dari kandang ternak sebagai alat penerangan dan memukulkan obor tersebut ke Mbah Gemblong. Mbah Gemblong pun membalas serangan tersebut, sehingga terjadi perseteruan singkat.

    Perseteruan mereka terhenti ketika hewan ternak yang tadinya sakit lari ketakutan dan tiba-tiba sembuh. Mereka berdua meyakini bahwa roh jahat yang menyebabkan ternak sakit telah hilang karena obor yang menyala. Sejak saat itu, mereka mewasiatkan agar keturunannya melaksanakan Perang Obor sebagai pengingat dan tolak bala untuk mengusir roh jahat yang menyebabkan penyakit pada ternak.

    Persiapan dan Pelaksanaan Perang Obor

    Persiapan Perang Obor dimulai dengan ziarah ke makam Mbah Tegal, orang yang diyakini membuka Tegal Sambi pertama kali, dan ke perempatan Tegal Sambi, tempat makam Mbah Gemblong berada, kemudian ke makam Syaikh Rofi’i, Mbah Sudimoro, Kiai Babatan, Mbah Surgi Manis, Mbah Tunggul Wulung, Mbah Singkil, Mbah Datuk Sulaiman, dan Mbah Towi Kromo. Terdapat 400 obor yang akan digunakan, pembuatan obor dilakukan dua minggu sebelum pelaksanaan.

    Menurut Bapak Solihin, pembuat obor tradisional, Obor dibuat dari blarak (daun kelapa kering) dan daun pisang kering. Komposisi obor, lebih banyak daun pisang dan blarak hanya digunakan untuk melilit daun pisang keringnya. Ukuran obor ini berdiameter 20 cm dengan panjang 3 meter.

    Puncak Acara Perang Obor

    Pada hari pelaksanaan, 40 pemain yang akan memainkan Perang Obor Bersiap dengan baju serta celana yang panjang, yang kemudian dimulai dengan kirab dari rumah kepala desa. Acara diawali dengan adzan dan iqomah, kemudian dilanjutkan dengan kirab hingga perempatan desa yang merupakan lokasi utama tradisi ini berlangsung.
    Acara dibuka oleh sambutan Penjabat Bupati Jepara, Bapak Edy Supriyanta, kemudian beliau yang juga menyalakan api pertama kali. Setelah pembawa acara mempersilakan pemain untuk saling memukulkan obornya ke pemain lain. Terdapat 2 arah berlawanan, pemain bergantian untuk saling memukulkannya.
    Pelaksanaan perang obor ini dilaksanakan hingga keseluruhan obor habis, yang bisa mencapai waktu 2 jam.

    Penghargaan dan Dampak Ekonomi
    Perang Obor telah mendapatkan dua penghargaan nasional, yaitu dari Kementerian Pariwisata sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia dan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Tradisi Adat Terbaik. Tradisi ini tidak hanya menjadi ajang pelestarian budaya, tetapi juga berdampak positif terhadap ekonomi masyarakat. Setiap tahunnya, acara ini menarik banyak wisatawan yang datang, sehingga meningkatkan pendapatan para pedagang dan pengusaha lokal.

    Penanganan Luka

    Keselamatan para peserta juga menjadi perhatian utama. Istri Kepala Desa menyiapkan obat tradisional untuk menyembuhkan luka bakar berupa minyak kelapa yang dicampur dengan bunga telon. Bunga telon ini didapatkan setelah melalui proses ritual selama satu tahun, menjadikannya obat mujarab untuk mengatasi luka bakar.